Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir
bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830),
Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa
(Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang
kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di
Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan
senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke
Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah
garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk
bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang
pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih
banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun
1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya
berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau,
sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu,
yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil
luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri,
melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda.
Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari
Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost
Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi
sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah.
Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel
Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang,
dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di
Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes
keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU
Agraria 1870.
Setelah menduduki Indonesia, Jepang melihat bahwa produksi
beras tidak akan mampu memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
perluasan areal persawahan guna meningkatkan produksi beras. Meskipun demikian
produksi pangan antara tahun 1941-1944 terus menurun.
Pengawasan pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan pertanian
diawasi secara ketat dengan tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama
beras. Hasil pertanian diatur sebagai berikut: 40% untuk petani, 30% harus
dijual kepada pemerintah Jepang dengan harga yang sangat murah, dan 30% harus
diserahkan ke ‘lumbung desa’. Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang
berani melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang menangani masalah
pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat
ditakuti rakyat.
Pengawasan terhadap produksi perkebunan dilakukan secara
ketat. Jepang hanya mengizinkan dua jenis tanaman perkebunan yaitu karet dan
kina. Kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung dengan kepentingan perang.
Sedangkan tembakau, teh, kopi harus dihentikan penanamannya karena hanya berhubungan
dengan kenikmatan. Padahal, ketiga jenis tanaman itu sangat laku di pasaran
dunia. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi sangat
merugikan rakyat.
Pengerahan sumber daya ekonomi untuk kepentingan perang.
Untuk menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu
berdalih bahwa untuk kepentingan perang. Setiap penduduk harus menyerahkan
kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus menyerahkan barang-barang
berharga (emas dan berlian), hewan, bahan makanan kepada pemerintah Jepang.
Untuk memperlancar usaha-usahanya, Jepang membentuk Jawa
Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian).
Kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi tersebut, telah
mengakibatkan kehidupan rakyat Indonesia semakin sengsara dan penuh
penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia selama pendudukan
Jepang lebih buruk apabila dibandingkan dengan penderitaan dan kesengsaraan
pada masa penjajahan Belanda. Padahal, Jepang menduduki Indonesia hanya tiga
setengah tahun, sedangkan Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah abad.
baca juga
baca juga
loading...
B. Perkembangan Pertanian Di Indonesia
Semenjak tahun 1969 Indonesia
memulai program intesifikasi massal (INMAS) untuk petani sebagai dampak
revolusi hijau di tingkat dunia. Pada tahun itu petani mulai dikenalkan dengan
berbagai jenis pupuk buatan (bersifat kimiawi), obat-obatan pembasmi
hama-penyakit dan gulma (pestisida dan herbisida) serta benih-benih yang
berdaya hasil tinggi.Selain masalah pengerasan tanah akibat penggunaan pupuk
kimia yang berlebihan seperti tersebut di atas, masalah lain yang patut
diperhatikan di Indoneia adalah adanya indikasi proses pemiskinan atau pengurangan
kandungan 10 jenis unsur hara meliputi sebagian unsur hara makro yaitu Ca, S
dan Mg (3 unsur) serta unsur hara mikro Yaitu Fe, Na, Zn, Cu, Mn, B dan Cl (7
jenis unsur).
Perkembangan pertanian di
Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Selain berbagai ancaman akibat
bencana alam, dan perubahan iklim, pertanian juga terancam oleh kerusakan tanah
yang makin mengeras karena intensifikasi penggunaan pupuk. Melalui kebijakan
Program Insus 1969 dari pemerintah, intensitas penggunaan pupuk kimia meningkat.
Akibatnya residu tanah menumpuk, hama meningkat, beragam dan resist terhadap
obat-obatan pertanian.
Sementara dari pihak
petaninya sendiri telah mengalami hal-hal yang dapat mengancam hilangnya
kemandirian petani. Yaitu kriminalisasi petani berupa tuntutan hukum terhadap
sekitar 16 petani dari Kediri dan sekitarnya. Salah satunya Burhana Juwito
Muhammad Ali, anggota dari Paguyuban Bina Tani Makmur Kediri yang telah
menjalani hukuman lima bulan penjara karena tuduhan pelanggaran sertifikasi
pembenihan. Padahal kenyataannya Burhana tidak pernah melakukan sertifikasi
pembenihan.
Perubahan sistem
pemerintahan yang sentralistik di era Orde Baru menjadi otonomi daerah juga
mempengaruhi dalam hal penyebaran dan pemahaman informasi. Maka yang terpenting
adalah komunikasi program antara pusat dan daerah.
Diperkirakan sekitar 342.387 ha
(Dinas Tanaman Pangan Kalsel, 2002; Kalimantan Selatan Dalam Angka, 2003)
sangat potensial untuk dikembangkan bagi kegiatan pertanian, perikanan,
perkebunan dan kehutanan.
Pemanfaatan lahan rawa baru
sekitar 143.118 ha, dan sisanya seluas 199.269 (58,19%) masih berupa lahan
tidur yang belum digarap (Anonim, 2003). Meskipun demikian lahan rawa sangat
potensial dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan lahan yang luas,
keadaan topografi yang datar, ketersediaan air melimpah dan teknologi pertanian
yang cukup tersedia (Noor. M., 2007).
Disisi sumber daya manusia
(SDM) sebagian besar tenaga kerja produktif masih dominan pada sektor primer
(pertanian dan pertambangan) hal ini dapat dilihat dari data tenaga kerja Prov
Kalsel tahun 2008, yang dipublikasikan oleh BPS Kalsel, sebesar 48% dari total
tenaga kerja.
Hanya saja belum ada upaya
serius untuk melakukan maintenance sektor pertanian kearah yang lebih modern. Petani dibiarkan
terpecah dalam kekuatan-kekuatan kecil dan dibiarkan berjuang sendiri untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Kalaupun alokasi dana cukup besar untuk
sektor pertanian namun orientasinya tidak optimal dan tidak menyentuh hajat
hidup petani secara menyeluruh. Hal ini wajar karena petani tersebar dalam
pecahan kecil. Ini salah satu yang menurut Geertz sebagai penyebab terjadinya agricultural
involution.
Program dan kebijakan apapun
yang dikembangkan oleh pemerintah, tidak akan optimal apabila secara institusi
dan pengembangan sumber daya manusia tidak berkembang dengan baik. Sumber daya
manusia dibidang pertanian semakin berkurang dari sisi kualitas maupun
kuantitas. Sementara lahan dari sisi luasan juga semakin berkurang didesak
kemajuan jaman. Namun dalam metode pengembangan kita masih berkutat pada metode
dan cara yang kita susun pada saat SDM dan lahan berlebih.
Disinilah pentingnya sebuah
revolusi pertanian dalam tataran pengembangan kebijakan terkait pertanian.
Harus ada komitmen yang masif dan kuat yang diwujudkan dalam program jangka
panjang terkait kebijakan pertanian. Pertanian tidak lagi dipandang sebagai
sektor parsial tapi merupakan tujuan dari keseluruhan pengembangan sektor.
Harus ada penguatan pengembangan SDM disisi kesehatan dan pendidikan untuk
mendukung pertanian. Pengembangan sektor kesejahteraan diarahkan pada
peningkatan jaminan kesejahteraan petani dan sebagainya.
Industrialisasi pertanian harus
segera dilakukan di Kalimantan Selatan karena sudah secara nyata terjadi
pergeseran sektor basis perekonomian yang tidak sehat. Pergeseran kearah sektor
tersier tidak ditopang oleh sektor sekunder (industri) yang kuat, akan
menyebabkan tatanan perekonomian mudah goyah. Dan industri yang paling positif
dikembangkan di wilayah Kalsel dengan dukungan potensi lahan pertanian yang
sangat luas adalah industri pertanian.
Perlu dilakukan kaji ulang
kebijakan pemerintah di sektor pertanian dengan memasukkan kebijakan mendorong
pengembangan infrastruktur pertanian, perencanaan dan implementasi RTRW yang
konsisten, dukungan sistem insentif dalam implementasi produksi komoditas
unggulan wilayah (daerah). Alih fungsi lahan pertanian terkait perkembangan wilayah perkotaan yang
berimplikasi terhadap wilayah permukiman dan perdagangan harus diatur dengan
tegas. Perlu segera dilakukan inventarisasi berapa luasan lahan pertanian yang
ideal untuk dapat menopang kebutuhan daerah akan produksi pertanian khususnya
tanaman pangan.
Industri pertanian membutuhkan
bahan baku yang besar dan terkoordinasi. Untuk itu kebijakan alih fungsi lahan
harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pertanian.
Kebijakan kompensasi alih fungsi lahan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan
sentra-sentra wilayah pertanian. Hal ini akan dapat membantu pemusatan
pengembangan petani tradisional kearah modern.
Membangkitkan koperasi-koperasi pertanian secara selektif akan dapat memperkuat bargaining position kaum tani dan produksinya, agar tidak kalah dengan permintaan pasar yang selalu menginginkan harga terendah.
Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS) ada sepuluh komoditi pertanian penting yang produksinya pada
tahun 2003 mencapai record tertinggi sepanjang sejarah republik Indonesia.
Sepuluh komoditi yang dimaksud adalah padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu,
sayuran dan buah, kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan ayam ras. Produksi padi
meningkat dari 49 juta ton tahun 1998 menjadi 52,1 juta ton pada tahun 2003
yang merupakan record tertinggi sepanjang sejarah. Bahkan tahun 2004, angka
ramalan II BPS menunjukkan produksi padi 53,67 juta ton, yang merupakan record
tertinggi baru sepanjang sejarah. Jagung meningkat 9,2 juta ton tahun 1999
menjadi 11 juta tahun 2003. CPO meningkat dari 5,62 juta tahun 1998 menjadi
10,6 juta tahun 2003. Karet meningkat dari 1,6 juta ton tahun 1998 menjadi 2,7
juta ton tahun 2003. Ayam ras meningkat dari 324 juta ekor tahun 1999 menjadi 1
milyar tahun 2003. Hal yang membanggakan kita adalah peningkatan produksi
tersebut sebagian besar disumbang oleh peningkatan produktivitas. Mengapa tidak
ada gejolak pangan selama tahun 2000 - 2003 antara lain karena disumbang oleh
prestasi produksi komoditi pangan utama ini. Sesudah 20 tahun tampaknya tahun
2004 ini kita kembali mencapai swasembada beras.
Tidak hanya itu, data BPS
juga melaporkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di pedesaan mengalami
perbaikan yang cukup berarti. Indeks nilai tukar petani naik dari 96,6 tahun
2000 menjadi 110,4 pada tahun 2003.Tingkat kemiskinan di pedesaan turun
rata-rata 20 persen yakni dari 32,7 juta tahun 1999 menjadi 25,1 juta tahun
2002. Tingkat kemiskinan juga turun dari 26 juta orang tahun 1999 menjadi 20,6
juta orang tahun 2002. Di pihak lain tingkat upah di pedesaan naik sekitar 17
persen pertahun sehingga meningkatkan pendapatan buruh tani di pedesaan.
Secara makro kemajuan
tersebut juga konsisten. Total impor komoditi pertanian masih besar tetapi
mengalami penurunan sementara ekspor meningkat. Sehingga neraca perdagangan
komoditi pertanian mengalami surplus yang meningkat rata-rata 15 persen pertahun,
yaitu dari US $ 2.2 milyar tahun 1999 menjadi US $ 3.4 milyar tahun 2002 dan
3.7 US $ pada tahun 2003. PDB pertanian selama tahun 2000-2003 bertumbuh
rata-rata 1,83 persen pertahun dan pertumbuhan PDB pertanian tahun 2003
Mencapai sekitar 2,61 persen. Tingkat pertumbuhan ini lebih tinggi dari
pertumbuhan pertanian selama krisis (1998-1999) yang hanya 0,88 persen bahkan
lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan pertanian akhir orde baru (1993-1997)
yang hanya 1,57 persen per tahun.
Baca juga
Baca juga
loading...
Tingkat pertumbuhan tersebut. belum memperhitungkan agribisnis hulu dan hilir (seperti industri mesin-mesin pertanian, pupuk, benih, bibit; produk-produk olahan, dsb.). Karena dampak multiplier pertanian itu sangat besar, baik ke belakang maupun ke depan, maka jelaslah bahwa pertumbuhan sektor pertanian sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional. Kemajuan-kemajuan yang kita capai juga lebih berkualitas. Pertumbuhan yang dikemukakan tersebut di atas bukanlah dicapai at all cost, tetapi lebih disebabkan oleh kreativitas masyarakat agribisnis. Benar Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984, tetapi melalui gerakan-gerakan yang dikomandoi oleh pemerintah, dimulai dengan alokasi sumberdaya oleh pemerintah sampai ke pelosok-pelosok pedesaan kita dengan biaya tinggi. Inilah yang kita sebut dengan government driven. Di era Kabinet Gotong Royong, paradigma ini kita ubah menjadi people driven, yang dimulai oleh pembuatan rencana oleh kelompok tani, sedangkan dinas-dinas pertanian merupakan pembina teknis. Dengan begitu alokasi sumberdaya dilakukan oleh petani, sedangkan pemerintah memberikan fasilitasi. Dengan kemajuan pertanian yang demikian - dari sudut ekonomi, pertanian Indonesia telah lepas dari spiral pertumbuhan rendah (1998-1999) dan sedang memasuki fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Hal ini berarti pertanian Indonesia sudah naik kelas baik dibandingkan dengan kondisi masa krisis maupun kondisi akhir orde baru.
Agenda jangka
menengah-pendek (sekitar lima tahun kedepan) yang perlu segera kita rumuskan
ialah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kinerja yang cukup
menggembirakan tersebut. Apa yang telah kita capai saat ini merupakan pondasi
untuk berkembang lebih lanjut. Setidaknya lima upaya yang harus dan segera
dilakukan agar momentum akselerasi pertumbuhan sektor pertanian dapat terus
dipertahankan secara berkelanjutan yaitu:
1. Merenofasi dan
memperluas infrastruktur fisik, utamanya sistem irigasi, sistem transportasi,
sistem telekomunikasi dan kelistrikan pedesaan;
2. Revitalisasi sistem
inovasi pertanian (penelitian dan pengembangan, diseminasi teknologi
pertanian);
3. Pengembangan kelembagaan
agribisnis (tata pemerintahan, organisasi pengusaha dan jejaring usaha);
4. Rekonstruksi sistem insentif
berproduksi dan investasi; dan
5. Pengelolaan pasar input
dan output.
Semua ini merupakan lebih
lanjut dari kebijakan dasar proteksi dan promosi yang landasannya telah kita
bangun dalam tiga tahun terakhir. Kedepan, pengalaman krisis pahit multi-dimensi
1998-1999 memberikan pelajaran berharga betapa strategisnya sektor pertanian
sebagai jangkar, peredam gejolak, dan penyelamat bagi sistem perekonomian.
Sektor pertanian merupakan kunci untuk pengentasan kemiskinan dan pemantapan
ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu pembangunan sektor pertanian
haruslah tetap dijadikan sebagai prioritas pembangunan nasional. Inilah
konsensus politik yang masih perlu diperjuangkan bersama.
Kinerja sektor pertanian
tidaklah semata-mata cermin kinerja Departemen Pertanian. Kinerja sektor
pertanian justru lebih banyak oleh pihak-pihak diluar Departemen Pertanian.
Oleh karena itu, kalaupun ada perbaikan dalam kinerja sektor pertanian,
penghargaan terbesar adalah kepada mereka petani dan pelaku agribisnis yang ada
di seluruh pelosok tanah air.
Papadah orang tua bahari,
“jangan pernah makan nasi ada sisa karena pamali, bisa kualat.” Sepertinya
relevan menggambarkan cara pemerintah daerah menangani masalah pertanian.
Terbuai oleh berlimpahnya komoditas dan kesuburan lahan kita lupa untuk
bersyukur dan bersiap ketika masa berlimpah akan berakhir
Indikator-indikator
ini dapat dengan telanjang kita lihat pada anatomi pertumbuhan sektor pertanian
kita. Terutama di daerah Kalimantan Selatan kontribusi sektor pertanian
terhadap PDRB dari tahun 2006 s/d 2009 rata-rata hanya 22,36% dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata yang negatif.
Dilihat
dari angka produksi terlihat dengan jelas bahwa pertumbuhan rata-rata produksi
pertanian cenderung stagnan. Angka pertumbuhan rata-rata terbesar hanya sekitar
27% bagi sebuah sektor unggulan yang telah “dibina” selama bertahun-tahun
melalui akumulasi anggaran yang besar, sungguh angka ini tidak dapat disebut
menggembirakan.
Artikel Berkaitan
Sejarah Asal Mula Pertanian dan Teori Awal Mula Pertanian Menurut Ahli
Makalah Sejarah Perkembangan Pertanian Menurut Ahli
Sejarah Perkembangan Pertanian Indonesia
Baca juga
Artikel Berkaitan
Sejarah Asal Mula Pertanian dan Teori Awal Mula Pertanian Menurut Ahli
Makalah Sejarah Perkembangan Pertanian Menurut Ahli
Sejarah Perkembangan Pertanian Indonesia
Baca juga
loading...